Thursday, December 3, 2009

Amerika: Kerajaan Superpower Di Tepi Jurang

AS mungkin telah memenangkan perang dingin dan 9/11. Tapi sekarang, kondisi ekonomi mereka telah membahayakan kekuatan global mereka sendiri.
Sebutlah ini geometri fraktal dari sebuah krisis fiskal. Jika Anda terbang melintasi Samudra Atlantik pada hari yang cerah, Anda dapat melihat ke bawah dan melihat fenomena yang sama tetapi dalam empat skala yang sama sekali berbeda. Pada satu ekstrem ada Islandia yang kecil. Lalu ada sedikit Irlandia, diikuti dengan si ukuran sedang, Inggris.

Semua negara itu lebih kecil daripada Amerika Serikat. Tapi dalam semua kasus krisis ekonomi, negara-negara itu mengalami hal yang sama: krisis perbankan yang akut, diikuti oleh krisis fiskal yang besar pula. Itu semua karena tindakan pemerintahnya yang telah mengeluarkan dana bail out untuk menyelamatkan system keuangan swasta.

Ukuran itu penting, tentu saja. Untuk negara-negara kecil, krisis keuangan adalah masalah besar. Namun untuk Amerika Serikat, krisis fiskal adalah sebuah ketakutan terbesar dalam keseimbangan ekonomi. Para ahli militer mempertanyakan pengiriman 30.000 tentara tambahan ke Afghanistan dan menyebutnya sebagai momen sesaat. Kenyataannya, keputusan Barack Obama—presiden AS—akan menggoyahkan keamanan negara dalam jangka panjang. Sebutlah Amerika sebagai negara superpower, jika Anda mau, atau kerajaan, tapi kemampuannya dalam mengelola keuangannya sangat terikat dengan kekuasaan global militernya. Suatu hal yang mencekik.

John Maynard Keynes pernah berdebat bahwa menaikkan anggaran utang federal akan menghindari depresi jilid dua. Mungkin, meskipun sebagian pihak akan mengatakan bahwa stimulus fiskal telah membumbung namun sihir dari pengaliannya berubah menjadi nol. Kredit menjadi sangat laten, karena segala macam kenaikan di Amerika akan turun lebih rendah tanpa adanya pengeluaran dari pemerintah. Itu bukan sesuatu yang mengejutkan. Ingat, apa yang membuat sebuah stimulus berhasil adalah perubahan dalam memimjam semua sektor publik. Karena pemerintah federal telah mengalami defisit, dan karena negara juga menaikkan pajak dan memangkas anggaran, ukuran stimulus yang sebenarnya akan terus turun.

Ayo kita lihat fiskal AS di tahun 2009. Berjumlah lebih dari $1,4 trilyun—sekitar 11,2 persen dari GDP, menurut Congressional Budget Office (CBO). Itu adalah angka defisit stimulus paling besar sejak tahun 1942. Artinya, orang Amerika mempunyai kebijakan fiskal yang sama dengan ketika terjadi perang dunia, padahal perangnya sendiri tidak ada. Mungkin betul, AS tengah berperang di Afghanistan dan masih menempatkan pula beberapa ribu pasukan di Iraq, tapi “kontribusi” mereka pada badai fiskal hanya 1,8 persen dari GDP, bahkan jika diakumulasikan dari $3,2 trilyun seperti yang dipublikasikan oleh ekonom Kolumbia, Joseph Stiglitz di bulan Februari 2008.

$1.4 trilyun hanya permulaan. Menurut CBO, defisit pemerintah akan mencapai 11,2 persen tahun ini, 6,1 persen pada 2012, dan 3,7 persen pada 2012. Setelah itu, angka defisit akan terus bertahan di 3. Sementara dalam terminologi dollar, total utang yang meningkat adalah dari $5,8 trilyun pada tahun 2008 menjadi $14,3 trilyun di tahun 2011! Artinya, dari 41 persen menjadi 68 persen.

Dalam kata lain, orang Amerika akan menanggung utang selama sisa hidupnya. Setidaknya sampai pajak dipotong, tak akan pernah ada anggaran yang seimbang. Katakanlah, seseorang sekarang ini hidup sampai 30 tahun kemudian dan mengiringi kematian kakeknya yang berusia 75 tahun. Pada tahun 2039, utang federal terhadap masayrakat akan mencapai 91 persen dari GDP—itu menurut CBO. Paul Krugman, seorang ekonom menyindir, tak ada yang perlu dikhawatirkan, karena pada tahun 1945, defisit AS mencapai 113 persen.

Tapi itu tahun 1945, bukan 2039. Utang akan menerjang sampai 215 persen pada 2039, dan betul, dua kali lipat lebih dari seluruh ekonomi AS. Ini bukan cuma sekadar prediksi. Ini adalah suatu efek dari ketidakseimbangan anggaran dan pengeluaran, yang sekarang, semua implikasinya telah begitu jelas.