Ia bahkan mengaku sering "kaget" jika ada Muslim yang bertanya mengapa ia masuk Islam. Dan jawaban yang selalu ia ucapkan adalah,"Well, Islam adalah satu-satunya agama yang benar, ingat?". Tapi sesungguhnya, Wildeman mengaku ia sendiri tidak tahu mengapa memutuskan masuk Islam. Semuanya terjadi begitu saja ... bukan karena ia sedang gelisah mencari kehidupan yang sebenarnya atau sedang mencari Tuhan. Tapi keputusan besar itu berawal ketika ia pergi ke sebuah toko buku antara tahun 2003-2004.
"Saya masuk ke sebuah toko buku, tapi tidak tahu buku apa yang ingin saya beli. Waktu itu saya cuma ingin membaca, dan saya berminat pada buku-buku sejarah, filosofi dan sosiologi yang dijual di toko tersebut," tutur Wildeman mengawali kisahnya.
"Lalu ada sebuah buku berwarna hijau yang menarik perhatian saya, berjudul 'Islam; Values, Principles and Reality'. Saya pegang buku itu, saya lihat-lihat isinya, dan akhirnya saya menyadari bahwa saya cuma tahu sedikit tentang orang Islam tapi tidak tahu apa yang mereka yakini," sambungnya.
Wildeman memutuskan membeli buku itu, untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam, apalagi saat itu Islam dan Muslim sedang menjadi bahan pemberitaan media massa dan mempengaruhi masalah internasional di dalam dan di luar Belanda.
Wildeman yang asal Negeri Kincir Angin itu mengakui, sebelum belajar banyak tentang Islam, ia memiliki pandangan yang negatif tentang Islam. Ia pernah punya pemikiran, bagaimana seorang Muslim mengaku sebagai orang yang beragama tapi pada saat yang sama ia menindas isterinya sendiri. Wildeman juga mengaku tak habis pikir, mengapa umat Islam "menyembah" batu berbentuk kubus di Makkah (Ka'bah) padahal batu atau patung tidak punya kekuatan atau bisa membantu manusia. Ia juga menganggap Muslim tidak toleran dengan penganut agama lain.
Setelah buku pertama yang ia beli, Wildeman membaca buku-buku lainnya tentang Islam bertahun-tahun kemudian dan ia mengaku terkejut bahwa apa yang selama ini ia pikirkan adalah bagian dari ajaran Islam dan apa yang selama ini ia kritisi juga dikritisi dalam Islam.
"Saya menemukan dalam Islam bahwa Rasulullah Muhammad Saw berkata, ketaqwaan seseorang bisa terlihat dari bagaimana seseorang itu memperlakukan isterinya. Saya juga menemukan bahwa umat Islam tidak menyembah Ka'bah karena umat Islam justeru tidak boleh menyembah patung dan sejenisnya. Dan saya menemukan, peradaban Islam dalam seluruh sejarahnya, mencontohkan toleransi antar umat beragama," papar Wildeman.
Sayangnya, di lingkungan tempatnya tinggal tidak ada kegiatan dakwah Islam dimana ia bisa langsung berdialog dan bertanya tentang Islam. Pada bulan Ramadhan, Wildeman memutuskan untuk menemui rekan-rekan kerjanya yang Muslim dan mengatakan pada mereka bahwa ia akan ikut berpuasa. Wildeman juga membeli al-Quran dan mencari jadwal imsakiyah di internet.
Saya membawa susu dan kurma ke tempat kerja dan menjelaskan bahwa itu adalah sunnah Rasul. Saya belajar banyak saat bulan Ramadhan itu juga rekan-rekan Muslim lainnya. Kami melewati bulan Ramadhan dengan kegiatan yang menyenangkan. Dan saat idul fitri bagaimana hari pemakaman buat saya, tapi setelah itu semuanya kembali normal," ujar Wildeman menggambarkan kesedihannya saat Ramadan berakhir.
'Alhamdulillah, Akhirnya ...'
Usai Ramadan, Wildeman membayarkan zakatnya ke sebuah masjid. Itulah pertamakalinya ia bertemu dengan bendahara masjid yang menanyakan apakah ia seorang Muslim dan Wildeman menjawab bahwa ia bukan seorang Muslim tapi ia ikut puasa bulan Ramadan lalu.
Wildeman terus menggali informasi tentang Islam dari buku-buku, terutama yang ditulis dari kalangan non-Muslim seperti penulis Karen Amstrong. Wildeman merasakan, setiap pertanyaan yang muncul di kepalanya, selalu ia temukan jawaban yang meyakinkan dalam ajaran Islam.
Tak terasa, Ramadan kembali datang dan ia bertemu lagi dengan bendahara masjid yang sama ketika membayar zakat. Si bendahara bertanya lagi apakah saya sudah Muslim. "Saya menjawab "Belum. Tapi bukankah Anda bilang supaya saya tidak terburu-buru dan santai saja?" Si bendahara mengangguk sambil tersenyum.
Sejak mengenal Islam, Wildeman pelan-pelang menghentikan kebiasaannya minum minuman keras dan merokok. Saat liburan, Wildeman berkunjung ke Turki dan melihat-lihat bagian dalam masjid-masjid besar di negara itu. "Seiring bertambanya hari, saya makin merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan saya," tukasnya.
Lewat sebuah situs jejaring sosial yang populer di Belanda 'Hyves', Wildeman berkenalan dengan seorang muslimah mualaf. Ia lalu diundang makan malam dan bertemu dengan suami muslimah tadi, seorang Muslim yang taat kelahiran Mesir.
Sepanjang makan malam, mereka berdiskusi tentang Islam. Di pertemuan kedua, Wildeman belajar salat dari keluarga itu dan ketika istirahat sebentar. Suami muslimah tadi yang kemudian menjadi sahabatnya bertanya,"Nah, apakah kamu sudah siap melakukannya (salat)?"
"Ya, saya pikir saya siap," jawab Wildeman.
Ketika itu Wildeman merasa sudah menjadi seorang Muslim, cuma ia belum bersyahadat saja. Dua minggu setelah belajar salat, Wildeman beserta ayahnya dan sahabatnya itu mendatangi sebuah masjid. Imam masjid sudah diberitahu apa maksud kedatangannya.
Imam itu menuntut Wildeman untuk mengucapkan syahadat. Setelah itu membacakan doa untuk Wildeman yang hari itu resmi menjadi seorang Muslim. "Mendengar isi doa itu, saya seperti habis berlari bermil-mil dan sekarang sudah mencapai garis finish. Saya merasa tenang dan bahagia," ujar Wildeman yang diberi nama Islam, Nordeen.
Dan ketika ia mendatangi masjid yang biasa ia kunjungi untuk membayar zakat, ia bertemu lagi dengan bendahara masjid yang sama dan melontarkan pertanyaan serupa apakah ia sudah menjadi seorang Muslim.
Wildeman menjawab sambil tersentum,"Ya Pak, saya seorang Muslim dan nama saya Nourdeen."
Dan si bendaharawa dengan senang berkata,"Alhamdulillah, akhirnya ...".