Raut wajah Hastanto Sri Margi Widodo, direktur teknologi informasi (TI) PT Asuransi Bintang Tbk., yang sumringah mendadak berubah serius. Keningnya berkerut. Setelah mengisi bahan bakar nitro pada Heli Trex-nya, ia coba menerbangkannya. Namun, helikopter berukuran mini itu tak juga mengudara. “Ada yang belum tersambung,” keluh Widodo, sapaan akrabnya. Ia lalu mengotak-atik mesin helikopter remote control (RC) miliknya.
Sejenak kemudian, suara deru mesin dan sapuan baling-baling perlahan mulai mengoyak udara di sekitarnya. “Suaranya memang agak keras, jadi lebih nyaman kalau main di lapangan,” kata Widodo, setengah berteriak. Warta Ekonomi yang siang itu berada tak jauh dari Widodo terpaksa menutup telinga.
Tidak berselang menit, helikopter mulai terbang vertikal. Setelah dirasa cukup, lulusan S2 Curtin University of Technology, Australia, ini mulai mengendalikan helikopternya berkeliling lapangan sepak bola yang ada dalam satu kompleks dengan kantornya di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. “Di luar jam kerja, saya sering berada di lapangan ini untuk menerbangkan helikopter RC,” aku Widodo. Biasanya, ia berada di tempat itu hingga beberapa jam—kadang sendiri, tetapi tak jarang ditemani rekan kerja atau bahkan sopirnya.
Namun, Widodo mengaku beberapa kali mencuri jam kerja hanya untuk bermain aeromodelling. Bahkan, saat pekerjaan sedang menumpuk. Itu dilakukannya untuk menurunkan stres. “Kalau sedang banyak pekerjaan, saya main sekitar 10 menit, lalu kembali lagi bekerja,” bisiknya. Setelah bermain sebentar, ia mengaku pikirannya menjadi lebih segar dan ide pun mengalir lancar.
Widodo menjadikan aeromodelling bagian dari strategi mengelola stres. “Saya sering memaksa staf untuk ikut main helikopter. Pertama kali mereka malu-malu, tetapi setelah dua-tiga kali malah mereka yang meminta,” selorohnya. Bahkan, suatu hari ia pernah membelikan satu set helikopter RC siap terbang untuk para stafnya dan disimpan di kantor. “Saya belikan mereka agar milik saya tidak sering dipakai,” canda Widodo. Sekarang, tambahnya, sebagian stafnya sudah memiliki helikopter RC.
Modifikasi Mainan Mahal
Widodo mengelompokkan dirinya dalam jenis aeromodeller modifikasi. Artinya, ia tipe pemain yang lebih suka mengotak-atik mainannya daripada berakrobatik. “Ada perasaan lebih dari sekadar puas apabila kita bisa mengkreasikan sesuatu dari sebuah heli agar memiliki nilai lebih dibanding yang lain,” aku Widodo.
Setelah membeli seperangkat helikopter RC standar, ia biasanya langsung meng-oprek-nya. Bukan sekadar otak-atik engine, melainkan juga membuat semacam program komputer dan ditanam pada sebuah cip di heli tersebut. Tujuannya, tentu, meningkatkan performa mainan miliknya. Untuk membuat program ini, Widodo butuh waktu dua bulan. Aplikasi ini dibuatnya di sela-sela kesibukannya. “Saya membuat program ini di tengah kesibukan kerja dan saat libur,” cetus moderator forum pehobi aeromodelling di www.gaero.info ini.
Widodo tak pernah pelit, ia sering membagi program yang telah dibangunnya kepada rekan-rekan dalam forum tersebut. “Setiap selesai mengembangkan aplikasi biasanya saya upload ke forum agar yang lain juga bisa mencoba,” ujarnya.
Pengembangan program dan urusan otak-atik mesin helikopter RC, diakuinya, ia pelajari secara otodidak. “Saya belajar dari buku dan situs internet,” jelasnya. Kemampuan mengotak-atik ini memberinya beberapa manfaat, seperti efisien dalam hobi sekaligus meng-upgrade kemampuan “mainan”-nya. Maklum, hobi ini lumayan mahal. Saat heli mengalami crash, misalnya, untuk memperbaiki plus harga suku cadangnya tidak murah. Sekadar informasi, harga seperangkat heli RC siap terbang Rp1,5–45 juta, tergantung spesifikasinya. Adapun ongkos perbaikannya paling murah Rp200.000. “Kalau rusaknya parah, bisa jutaan rupiah,” tandas Widodo.
Untuk pemula, Widodo merekomendasikan membeli heli elektrik seharga Rp5 juta-an. Kalau sudah mahir, lanjut Widodo, pehobi bisa memakai heli berbahan bakar metanol. “Oleh karena bobot dan risikonya, heli dengan bahan bakar metanol disarankan dimainkan oleh pemain yang sudah mahir,” saran ayah dari dua putra dan seorang putri ini.
Ribuan Kali Pecah Berkeping-keping
Pehobi heli RC lainnya adalah Agus Lie. Tidak tanggung-tanggung, Agus bahkan mendirikan PT Hely Tech, produsen heli RC dengan merek e-Hely. Bagi sarjana teknik kimia lulusan Curtin University of Technology, Australia, ini, satu-satunya alasan menggeluti hobi heli RC ialah adrenalin. “Kalau tangan tidak bergetar dan adrenalin tidak naik, saya tak akan main heli,” ungkapnya. Menurut dia, makin rendah terbang heli, adrenalin pun akan makin tinggi. “Saat heli nyaris menyentuh tanah, tangan bisa bergetar kencang karena adrenalin terus naik,” ujar Agus.
Agus termasuk pemain heli RC yang suka berakrobatik—sebuah pilihan berisiko. Ia mengklaim ribuan kali heli-nya jatuh dan hancur berkeping-keping. “Saya sudah habis miliaran rupiah akibat ratusan heli yang rusak atau hancur karena jatuh,” keluhnya. Bukan hanya risiko materi, jika tidak hati-hati, nyawa bisa menjadi taruhan. “Hobi ini butuh konsentrasi karena dengan bobot yang berat bisa memakan korban,” papar pria berkulit putih ini. Bagi penonton yang ingin melihat, tambahnya, lebih aman berada sekitar 10 meter di belakang pemain.
Agus terbilang rajin mengikuti berbagai turnamen aeromodelling, juga yang diadakan di luar negeri. Pada 2008 lalu, misalnya, ia ikut turnamen di Taiwan. “Tahun 2008 saya beberapa kali ikut turnamen di Bogor, Palembang, dan Taiwan,” ujarnya. Tahun sebelumnya, ia ikut kejuaraan di Singapura. Sayangnya, ia baru bisa berjaya di dalam negeri, sedangkan di luar negeri ia baru sebatas berpartisipasi. “Terakhir saya juara II Kejurnas Aeromodelling,” kata pria yang kerap main di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, dan Alam Sutera di Tangerang ini, terbahak.
Pelampiasan
Widodo mulai menekuni hobi ini sejak 1998 dan mengaku kian serius pada 2005. “Waktu itu harga seperangkat heli RC sudah mulai terjangkau,” jelas pemilik empat heli ini. Ia menganggap hobinya ini sebagai pelampiasan dari cita-citanya untuk bisa mengemudikan helikopter. “Ini karena saya sejak dulu ingin bisa terbang,” kata Widodo. Ia lalu bercerita mengapa lebih terobsesi terhadap helikopter ketimbang pesawat terbang. “Waktu di Australia, saya pernah mengemudikan pesawat Cessna. Rasanya seperti naik bajaj,” cetus dia.
Sementara itu, Agus menilai menerbangkan helikopter lebih sulit daripada pesawat, sehingga tantangannya pun lebih tinggi. Tidak cuma saat menerbangkan helikopter sungguhan, menerbangkan helikopter RC pun ternyata lebih sulit daripada menerbangkan pesawat RC. Bahkan, Widodo mengaku butuh waktu dua bulan agar fasih mengendalikan helikopter RC. Padahal, saat menerbangkan pesawat RC ia cukup belajar satu bulan.
Selain itu, Widodo dan Agus suka dengan helikopter RC karena bisa diterbangkan di mana saja, baik di kawasan perumahan maupun di tanah lapang. Urai Widodo, “Itu karena helikopter bisa terbang vertikal, sedangkan kalau menerbangkan pesawat RC di perumahan ada penghalang berupa pohon atau rumah, karena terbangnya landai.”
Meski obsesi mengendalikan helikopter sudah tersalurkan, Widodo belum membuang keinginannya membeli sebuah helikopter betulan. Apalagi, harganya tak semahal dulu. “Kini, harga satu unit helikopter ada yang kurang dari Rp1 miliar,” bisik Widodo. Namun, tentu saja, untuk membelinya ia harus melobi sang istri agar berkenan mencairkan dana. “Ini perjuangan berat bagi saya,” pungkasnya, sambil tergelak.